Peringati May Day, KPR Bima Gelar Aksi Damai, Sorot soal Demokrasi hingga Kepastian Kerja

Kota Bima, Tambora.Id— Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) Bima menggelar aksi damai memperingati hari buruh internasional (May Day) dan hari pendidikan nasional (Hardiknas) 2025 di persimpangan Jl Soekarno-Hatta – Jalan Gatot Soebroto dan di DPRD Kabupaten Bima, Kamis (1/5/2025).

Dalam aksinya, KPR Bima yang dikoordinir Mahfudin menyorot tentang demokrasi sejati, pendidikan gratis dan kepastian kerja.

“Situasi ketenagakerjaan di Indonesia pada tahun 2024 hingga awal 2025 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, ditandai dengan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, penutupan perusahaan, menurunnya daya beli masyarakat, dan ketidakpastian kerja yang semakin meningkat,” ujar Mahfudin dalam orasinya.

Ia mengungkap, sepanjang tahun 2024, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 77.965 tenaga kerja mengalami PHK, meningkat 20,2% dibandingkan tahun sebelumnya . Gelombang PHK ini berlanjut pada awal 2025, dengan 44.069 buruh terkena PHK dari 37 perusahaan hanya dalam dua bulan pertama. Beberapa perusahaan besar yang tutup antara lain PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang mem-PHK 10.665 karyawan dan PT Yamaha Music Indonesia dengan 1.100 karyawan terkena dampak.

Menurutnya, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,03% pada 2024, daya beli masyarakat tetap melemah. Hal ini tercermin dari deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024. Penurunan daya beli ini juga ditandai dengan menyusutnya kelas menengah dari 21,5% pada 2019 menjadi 17,1% pada 2024, yang berarti sekitar 10 juta individu mengalami ketidakpastian ekonomi tanpa mendapat bantuan signifikan dari pemerintah.

“Situasi ini mencerminkan kegagalan sistem ekonomi neoliberal yang menempatkan keuntungan di atas kesejahteraan pekerja. PHK massal dan penutupan perusahaan menunjukkan bahwa pekerja menjadi korban utama dalam dinamika ekonomi yang tidak stabil,” ujarnya.

Dikatakan Mahfudin, menurunnya daya beli masyarakat menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak merata dan tidak dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Ketidakpastian kerja semakin meningkat, dengan banyak pekerja menghadapi kondisi kerja yang tidak menentu dan tanpa jaminan sosial yang memadai.

Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) Bima saat menggelar aksi damai memperingati hari buruh internasional (May Day) dan hari pendidikan nasional (Hardiknas) 2025 di DPRD Kabupaten Bima, Kamis (1/5/2025).

“Dalam konteks ini, diperlukan perubahan struktural yang menempatkan kesejahteraan pekerja sebagai prioritas utama. Kebijakan ekonomi harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja yang layak, memperkuat perlindungan sosial, dan memastikan distribusi kekayaan yang adil,” kata dia.

Tanpa perubahan tersebut, lanjutnya, ketimpangan sosial dan ekonomi akan terus meningkat, mengancam stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan

Sementara itu, Sekretaris Umum Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Afdhal juga menyorot situasi pendidikan di Indonesia yang saat ini menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan, terutama dari perspektif kiri yang menyoroti ketimpangan struktural dan dominasi kekuasaan dalam sektor pendidikan.

Ia mengatakan, pemerintah melalui Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, telah mewacanakan penerapan skema student loan sebagai solusi atas tingginya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Meskipun masih dalam tahap pembahasan, wacana ini menuai kritik karena dianggap dapat membebani mahasiswa dengan utang setelah lulus.

“Hal ini mencerminkan kecenderungan komersialisasi pendidikan yang dapat memperdalam ketimpangan sosial,” katanya.

Ia menyorot Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) tengah menjadi fokus legislasi DPR. RUU ini bertujuan untuk memperbarui regulasi pendidikan yang telah berusia lebih dari dua dekade. Namun, terdapat kekhawatiran bahwa RUU ini dapat memperkuat sentralisasi kebijakan pendidikan, memperkuat otonomi lembaga pendidikan, dan mengabaikan keberagaman kebutuhan lokal.

Selain itu, ia juga menyorot fenomena TNI dalam kegiatan kampus, seperti yang terjadi di Universitas Udayana dan Universitas Indonesia, menimbulkan kekhawatiran akan pelanggaran kebebasan akademik. Meskipun TNI menyatakan tidak berniat mencampuri urusan internal kampus, kehadiran mereka dianggap sebagai bentuk intimidasi yang dapat mengancam kebebasan berpikir dan berekspresi di lingkungan akademik.

“Kesejahteraan guru, terutama yang berstatus honorer, masih menjadi masalah serius. Survei IDEAS pada tahun 2024 menunjukkan bahwa 74% guru honorer menerima gaji di bawah Rp 2 juta per bulan, dengan 20,5% di antaranya berpenghasilan di bawah Rp 500 ribu,” ujar dia.  

Meskipun pemerintah telah menaikkan anggaran kesejahteraan guru menjadi Rp 81,6 triliun pada tahun 2025, ketimpangan pendapatan antara guru ASN dan non-ASN masih signifikan.

Dalam kampanye dan awal masa kepemimpinannya, Prabowo Subianto menggembar-gemborkan program “Sekolah Rakyat” sebagai solusi atas kesenjangan akses pendidikan di Indonesia. Program ini diklaim sebagai bentuk “pendidikan gratis dan bermutu” bagi rakyat miskin, program ini justru menyimpan sejumlah persoalan struktural yang perlu dikritisi secara tajam.

“Program Sekolah Rakyat diposisikan oleh rezim sebagai proyek populis yang merespons krisis pendidikan dan ketimpangan sosial,” ujarnya.

Namun seperti halnya proyek makan bergizi gratis, Sekolah Rakyat berpotensi lebih menjadi alat legitimasi kekuasaan daripada solusi struktural. Ketika akses terhadap pendidikan tinggi dan berkualitas masih dikuasai oleh kelompok menengah-atas, maka Sekolah Rakyat justru menciptakan segregasi pendidikan.

“Dalam dokumen-dokumen internal dan narasi kampanye, Sekolah Rakyat ditekankan sebagai pendidikan yang “praktis” dan “langsung kerja”. Dari perspektif kiri, hal ini adalah bagian dari proyek depolitisasi rakyat—mengalihkan pendidikan dari ruang pembentukan kesadaran kritis menjadi sekadar alat produksi tenaga kerja murah,” ujarnya.

 Afdhol juga menyorot kondisi daerah.  Melihat bahwa hingga saat ini pemerintah daerah belum memberikan jaminan yang terkait perlindungan dan pemberdayaan petani di Bima.

“Hal ini, menunjukkan adanya kekurangan dalam komitmen dan tindakan nyata untuk mendukung sektor pertanian. Tanpa adanya landasan hukum yang mengatur perlindungan dan pemberdayaan petani, potensi konflik dan ketimpangan dalam distribusi manfaat sektor pertanian dapat terus berlangsung,” ujarnya.

Dikatakannya, ketika harga jual pertanian terus merosot, petani di Bima menjadi salah satu pihak yang paling terdampak. Belum adanya perlindungan yang memadai serta kurangnya pemberdayaan dari pemerintah setempat membuat para petani semakin rentan terhadap kondisi ekonomi yang tidak pasti.

“Lantas dimana letak tanggung jawab pemerintah kabupaten bima terhadap petani dan apasaja yang harus dilindungi dan di beradayakan terutama dalam problematik paska panen raya komoditas jagung,” katanya.

Apabila mengacu pada undang-undang nomor 19 tahun 2013 seharusnya pemerintah daerah mengemban tanggung jawab dalam menetapkan kebijakan perlindungan dan pemberdayaan petani sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas dan tujuan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dengan melibatkan peran serta masyarakat (vide Pasal 8-11).

Masih mengacu dalam peraturan yang sama Sebagaimana yang di atur dalam Pasal 3 UU Nomor 19 tahun 2013  perlindungan dan pemberdayaan petani bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik, menyediakan prasarana dan sarana pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha tani, memberikan kepastian usaha tani, melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen, meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam menjalankan usaha tani yang produktif, maju, modern dan berkelanjutan, dan menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan pertanian yang melayani kepentingan usaha tani.

Melihat tinjauan yuridis tersebut, kata dia, fakta pelaksaan otonomi daerah yang seluas-luas justru berkata lain.

“Pasalnya sampai hampir dua dekade Pemerintah Kabupaten Bima belum memiliki sama sekali kebijakan yang diperkuat lewat landasan hukum di tingkatan daerah dalam hal melindungi dan memberdayakan petani sehingga dapat dikatakan penyebab utama dalam fluktuasi harga jagung di masyarakat Bima adalah tidak adanya peran pemerintah yang cukup dalam melindungi dan memberdayakan petani,” ujarnya.

Ia mengingatan, pemerintah daerah perlu memiliki perda (peraturan daerah) yang jelas mengenai harga jagung, yang dapat memastikan adanya kestabilan harga serta perlindungan terhadap petani.

Bagaimana analisis ringan yang bisa digunakan dalam mengatur fluktuasi harga jagung? Pengaturan harga jagung melalui Harga Eceran Terendah (HET) yang diperkuat oleh peraturan pelaksana, merupakan sebuah langkah strategis dalam mengontrol harga komoditas jagung di tingkat lokal.

“Dalam implementasinya, pertama-tama, pemerintah setempat akan menetapkan HET jagung. Penetapan harga ini didasarkan pada sejumlah faktor, termasuk kondisi pasar, biaya produksi, dan kebutuhan petani untuk mendapatkan hasil yang layak dari usahanya,” ujar dia.

Harga tersebut dirancang sedemikian rupa sehingga tetap memberikan insentif bagi petani untuk terus mengembangkan usaha pertanian mereka, sambil juga memastikan ketersediaan jagung bagi konsumen dengan harga yang terjangkau. Solusi lain yang dapat diterapkan oleh pemerintah adalah dengan mengembangkan konsep Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dapat mengintervensi pasar secara tidak langsung. BUMD dapat berperan sebagai perantara antara petani dan konsumen serta mengendalikan fluktuasi harga jagung.

“Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan membangun BUMD yang fokus pada distribusi dan pengolahan hasil pertanian, termasuk jagung. BUMD dapat membeli hasil panen petani dengan harga yang stabil dan mengatur distribusi jagung ke pasar lokal,” ujarnya.

Dengan begitu, lanjutnya fluktuasi harga jagung dapat dikendalikan dan petani dapat memperoleh penghasilan yang lebih stabil. Selain itu, BUMD juga dapat berperan dalam mengembangkan agroindustri jagung di Bima. Dengan mengolah jagung menjadi produk bernilai tambah.

Selain itu, secara menyeluruh juga perlu adanya penguasaan aset lokal yang beroreantasi pada kepentingan rakyat dan di bawah kontrol rakyat, pembangunan industri daerah yang kuat di bawah kontrol bersama rakyat, reforma agraria yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat, serta perlu adanya keberpihakan politik anggaran untuk kesejahteraan rakyat NTB.

Dalam aksi momentum May Day dan Hardiknas 2025, KPR Bima menyampaikan 15 pokok tuntutan, antara lain mendesak agar masyarakat dilibatkan dalam pembahasan RUU SISDIKNAS sebagai bentuk partisipasi bermakna, hentikan represifitas terhadap gerakan rakyat, tolak student loan, hapus semua produk hukum anti demokrasi, antirakyat (UU TNI, Revisi UU Polri, RKUHAP),  cabut UU Cipta Kerja beserta peraturan pemerintah, lawan badai PHK, sahkan RUU ketenagakerjaan pro buruh, dan berikan kepastian dan jaminan kerja yang layak bagi kaum buruh.

Kemudian sahkan RUU PRT sekarang juga, jaminan hukum bagi pekerja rumah tangga adalah mutlak. Jalankan reforma agraria sejati: tanah dan teknologi pertanian bagi petani kecil,

Pada isu local, KPR Bima juga mendesak agar pemerintah menerbitkan peraturan bupati (Perbub) sebagai peraturan pelaksana peratruan daerah perlindungan dan pemberdayaan petani untuk mensejahterakan rakyat Bima, wujudjkan penyelenggaraan pendidikan dari taman kanak-kanan hingga perguruan tinggi sesuai dengan standar nasional pendidikan serta meminta agar penyelewenangan anggaran program KIP sekolah dan PIP (KIP kuliah) diusut tuntas.

Dalam aksinya mahasiswa yang tergabung dalam KPR Bima membawa sejumlah poster dan spanduk yang berisi tuntutan dan sorotan terkait isu May Day dan Hardiknas 2025. Mereka berorasi di halaman DPRD Kabupaten Bima dan di persimpangan traffic light Jl Soekarno -Hatta dan Jalan Gatot Soebroto Kota Bima. (adr)